Walaupun rata-rata berbasiskan ketidaktahuan terhadap peraturan dan kemiskinan pengetahuan, sebetulnya orang Indonesia bisa dibilang punya bibit kreativitas.
SEBUAH POSTING blog berceloteh, mengeluh orang Indonesia betul-betul tidak kreatif. Di Jepang ada reality show, saya yakin para pembaca juga banyak yang pernah menontonnya di salah satu stasiun TV swasta, berupa lomba pagelaran pendek 1-2 menit hasil kreativitas kostum para peserta, entah itu oleh sekumpulan anak sekolah, pasangan suami isteri, atau orang dewasa/tua.
Rupanya, menurut posting blog ini, ide acara tersebut pernah ingin diadaptasi untuk Indonesia. Namun, karena ternyata sumbangan yang masuk tidak bagus-bagus, batallah proyeknya. Terus terang, masih njomplang jika membanding kan diri dengan Jepang.
Jepang adalah fenomena tingkat dunia yang sampai saat ini masih digeleng-gelengi kepala, baik oleh orang Barat maupun sesama orang Timur. Dari negara satu ini selalu muncul berbagai ide, produk, dan tren seni (manga, anime, fes yen), teknologi, dan lain-lain. Terkadang hasilnya keren, malah aneh, dan terkadang lagi benar-benar gila. Tapi, satu hal: semuanya kreatif.
Bangsa ini cenderung malas, namun kemalasan sebetulnya bisa melahirkan kreativitas.
Ada sebuah teori yang berusaha menjelaskan mengapa bangsa Jepang begitu kreatif. Katanya, orang Jepang tidak pernah benar-benar menerima kekalahan yang begitu dramatis di Perang Dunia II saat Hiroshima dan Nagasaki dibom atom. Karena sekarang bukannya lagi zaman perang, dan membahas perang di Jepang sendiri pun tabu, maka akhirnya orang Jepang mengarahkan segala daya upaya dan perhatiannya membuat “ledakan” di bidang lain yaitu budaya popular. Di samping itu, kita tahu bahwa secara geografis alam Jepang tidak superkaya, tidak supersubur, sering ditimpa gempa pula. Mau tidak mau mereka harus mengandalkan manusia untuk bertahan hidup.
Sayangnya, Indonesia tidak “diberkahi” dengan banyak gempa atau kemiskinan sumber daya alam. Malahan, Indonesia “dikutuk” dengan alam tropis yang sepoi-sepoi dan gembur. Kekayaan ini, menurut pendapat banyak orang, malah membuat kita menjadi santai dan malas.
Tapi, jangan salah. Kemalasan sebetulnya bisa melahirkan kreativitas karena mendorong orang mencari cara yang lebih mudah, cepat, murah, menguntungkan untuk mencapai tujuan. Lihat saja kreatifnya orang Indonesia mengakali peraturan seperti menjadi joki 3 in 1 atau melakukan praktik korupsi. Atau, cepatnya bangsa Indonesia mengadopsi SMS sebagai pengganti kartu ucapan karena malas dan mencari praktis. Kreatif, walau tasteless.
Indonesia miskin dalam bidang yang berbeda, misalnya pendidikan dan ilmu pengetahuan. Tapi bagi orang yang kreatif, kemiskinan ini juga bisa melahirkan banyak kreativitas demi bertahan hidup. Contohnya, saya melihat beberapa mahasiswa yang baru belajar komputer menggunakan blog bukan untuk bercerita melainkan bertanya. Daripada capek mengunjungi forum atau milis, lebih baik mengundang orang lain datang ke situsnya memberi jawaban. Sesuatu yang sebetulnya didasari kurangnya pengetahuan. Hanya bisa bikin blog, karenanya blog dipakai untuk membuat apa saja. Tapi bagi saya, ini cermin kreativitas.
Mari kita sekarang bandingkan Indonesia dengan 1 negara lagi: Singapura, yang saat ini kaya dan makmur, berpendidikan tinggi, dan hukumnya ditegakkan dengan (agak terlalu) ketat. Hasilnya? Membosankan dan dipandang orang tidak imajinatif. Jika dicari di Google, jumlah halaman yang mengandung kata Japan dan France masing-masing ada di lebih dari 2 dan 4x daripada Singapore. Tapi, frasa “Singapore is boring” lebih dari 2000 sementara “Japan is boring” dan “France is boring” tidak sampai 50 dan 30!
Pernah melihat film produksi Singapura? Rata-rata garing. Keunikan film Singapura biasanya karena bilingual atau tri-lingual, tapi cara penyampaian, pemain, dan warna temanya terbatas. Bagaimana tidak? Tingkat kriminalitas di sana rendah, tidak seperti di Indonesia yang penuh warna (merah). Mana ada imajinasi untuk menghasilkan film-film aksi, horor, atau tragedi? Bahkan cara pemerintah Singapura menggalakkan industri kreatif bangsanya pun terasa garing. Kota ditempeli pesan layanan masyarakat berbunyi “Be Creative”.
Melihat cara-cara bangsa ini bertahan hidup, dan melihat potensi kota penuh musisi dan pengembang software seperti Bandung dan Jogja, aman mengatakan bahwa bangsa kita sudah punya bibit-bibit kreativitas. Yang diperlukan kini adalah peningkatan pendidikan dan keahlian.
Oleh : Steven Haryanto
EmoticonEmoticon